Oleh BETH J. HARPAZ | Associated Press
NEW YORK (AP) — Mungkin benar para jenius teknologi tak butuh gelar
sarjana. Toh Bill Gates, Steve Jobs, dan Mark Zuckerberg semuanya tak
lulus kuliah.
Namun kini David Karp malah tak punya ijazah
SMA. Karp, 26, mendirikan Tumblr, forum blogging online yang dijual ke
Yahoo dengan harga $1,1 miliar (Rp10,7 triliun).
Kesuksesan Karp pun memunculkan pertanyaan: apakah kita bisa membiarkan anak jenius drop out dari sekolah?
Beberapa orang di Lembah Silikon mengatakan bahwa pendidikan
tradisional tak bisa memenuhi kebutuhan anak-anak dengan talenta luar
biasa. Sementara Vivek Wadhwa, pengajar di Stanford Law School yang
mengajar dan memberi nasihat untuk perusahaan startup, mengatakan,
keluar dari sekolah untuk mengejar mimpi itu sama halnya dengan membeli
lotere. "Itulah peluang Anda. Seringnya, Anda akan jadi pengangguran.
Untuk setiap kesuksesan, ada 100 ribu kegagalan."
Tapi
bagaimana dengan anak-anak yang sangat pandai dalam pemrograman komputer
sampai sekolah pun tak bisa mengajari apa yang seharusnya mereka
ketahui? "Itulah gunanya magang; itulah gunanya kegiatan
ekstrakurikuler," kata Wadhwa, yang sudah mendirikan dua perusahaan.
Karp, dalam sebuah wawancara dengan The Associated Press pada Senin,
berharap remaja-remaja lain tak menjadikan kesuksesannya sebagai alasan
untuk keluar dari sekolah. "Itu bukan jalur yang akan saya
rekomendasikan pada anak-anak di luar sana," kata dia. "Saya berada di
posisi unik saat itu, mengetahui sepenuhnya apa yang ingin saya lakukan
sementara pendidikan ilmu komputer di SMA di New York City tak terlalu
baik."
Ibu Karp memberi dia pilihan untuk bersekolah di rumah
pada usia 14 setelah menyelesaikan tahun pertamanya di Bronx High School
of Science, sebuah sekolah negeri elite di New York City yang hanya
menerima murid-murid dengan skor tinggi di ujian masuk nan sulit. Karp
mengambil kelas-kelas bahasa Jepang dan punya tutor matematika sambil
magang di perusahaan produksi animasi. Namun pada usia 16, dia sudah
bekerja untuk sebuah situs dan siap menjadi entrepreneur teknologi.
Karp tak pernah mendapat ijazah SMA-nya. Ibu Karp mengatakan dia
mengizinkan anaknya keluar sekolah karena sadar "(David) butuh waktunya
dalam sehari untuk bisa membuat sesuatu."
Penny Mills dari
Hudson, Mass., pun membiarkan anaknya, Thomas Sohmers, 17, keluar dari
kelas 11 tahun ini. "Saya melihat apa yang dia kerjakan di sekolah
banyak yang tak relevan dengan apa yang mau dia pelajari," katanya. "Dia
selalu ingin belajar lebih banyak daripada yang diajarkan sekolah.
Kadang-kadang bisa membuat frustrasi. Saya beruntung menemukan
orang-orang yang bisa mengajarkan dia lebih banyak, tapi dia sudah jauh
melewati apa yang bisa diberikan oleh sekolah."
Thomas sudah
bekerja di sebuah lab riset di Massachusetts Institute of Technology
yang bergengsi sejak usia 13. Ia turut mengembangkan proyek-proyek dari
kacama augmented reality sampai sistem komunikasi laser. Dia baru saja
memenangkan Thiel Fellowship yang memberi penghargaan $100 ribu (Rp973
juta) untuk 20 orang di bawah usia 20 supaya mereka tak perlu kuliah
agar bisa berfokus pada penelitian atau mengejar mimpi mereka, baik itu
proyek teknologi, bisnis, atau nirlaba. Namun ibu Thomas mengatakan dia
tetap akan mengizinkan anaknya keluar sekolah meski tak menang
penghargaan tersebut.
"Yang membuat saya khawatir adalah ada banyak Thomas-Thomas lain di luar sana dan kebutuhan mereka tak terpenuhi," kata Mills.
Menurut Thomas, dia sedih harus berpisah dengan teman-teman sebayanya,
namun dia tak sabar dengan masa depan. Dan dia merasakan sebuah dilema
akan tahun terakhirnya di sekolah. "Saya punya guru-guru yang luar biasa
dan hebat yang benar-benar punya semangat mengajar, tapi kini sebagian
besar yang ada di sekolah adalah mengajar untuk ikut ujian," kata dia.
"Benar-benar sedih. Kami tak belajar hal-hal yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah -- kami hanya belajar menjawab pertanyaan ini yang
akan muncul di ujian."
Susan Bartell, psikolog di Port
Washington, New York yang bekerja untuk remaja serta keluarga mereka
mengatakan bahwa dia sering bertemu orangtua yang yakin anak-anaknya
jenius luar biasa. Namun dia mengingatkan bahwa "perkecualian yang
sangat jarang terjadi, drop out berbuah kesuksesan." Dalam kasus Karp,
"memang berhasil, tapi jauh lebih sering tak berhasil -- bahkan ketika
seorang anak sangat jenius. Sekolah bukan hanya soal akademik, dan dalam
beberapa kasus, bahkan anak paling pintar pun butuh bersosialisasi."
Tak semua pebisnis muda mengikuti rute Karp. Awal tahun ini, Nick
D'Aloisio, remaja usia 17 tahun dari London yang aplikasi buatannya
dibeli Yahoo senilai $30 juta (Rp292 miliar) memutuskan untuk tetap
bersekolah.
Namun ada juga individu sukses lain yang tak punya ijazah SMA, dari rapper terkenal Jay-Z sampai miliarder Richard Branson.
Komunitas teknologi mungkin berbeda dari industri. Ijazah tak dilihat
sebagai tanda pencapaian dan programmer lebih dinilai dari kemampuan
mereka membuat kode. Anda adalah apa yang Anda buat.
Yang juga
membedakan bidang mereka adalah pemrograman komputer tak diajarkan di
tingkat SMA, dan bahkan ketika diajarkan pun murid yang paling berbakat
akan merasa kurikulum itu tak relevan buat mereka atau malah lebih jago,
kata Danielle Strachman, direktur program Thiel Fellowship. "Mereka
ingin kebebasan belajar dalam waktu mereka sendiri."
Strachman juga menekankan bahwa, hanya karena seseorang keluar dari
sekolah tak berarti mereka berhenti belajar. Program Thiel tak hanya
menyediakan pendanaan, tapi juga komunitas rekan-rekan dan mentor untuk
membantu penerima beasiswa mencapai mimpi mereka. Dan mereka selalu bisa
kembali mengejar gelar atau ijazah saat program beasiswa selesai.
Tujuan ini pula yang ingin dikejar Karp meski dia sudah kaya raya.
"Saya harap saya punya kesempatan untuk kembali ke sekolah," katanya,
"dan belajar sesuatu yang benar-benar berbeda."
0 Response to "Apakah anak Jenius lebih baik keluar sekolah?"
Post a Comment